
Setiap tahun, umat Katolik di seluruh dunia punya “tradisi” unik di Minggu Palma: datang ke gereja, bawa daun, dan ikut prosesi keliling gereja (atau keliling halaman, kalau nggak hujan dan halaman cukup luas). Anak-anak senang karena bisa mainan daun, ibu-ibu sibuk ngatur posisi palma biar fotonya bagus, dan bapak-bapak? Tetap tenang sambil mikir: “Ini nanti palem ditaruh mana ya, jangan sampai jadi mainan kucing.”
Tapi sesungguhnya, Minggu Palma bukan cuma soal daun palma atau prosesi meriah. Ini adalah momen sakral, penuh makna, dan menjadi pintu masuk ke Pekan Suci. Gereja mengajak kita untuk mengingat kembali peristiwa Yesus masuk ke Yerusalem, disambut meriah bak raja besar, padahal Ia tahu: yang menyambut dengan “Hosana!” hari ini… bisa jadi adalah orang yang berteriak “Salibkan Dia!” beberapa hari kemudian.
Bayangkan saja:
Yesus, Sang Raja Damai, datang bukan dengan iring-iringan pasukan dan musik marching band, tapi naik keledai—simbol kerendahan hati dan damai sejahtera. Sungguh tidak glamor, tapi sangat bermakna.
Dua Wajah dalam Satu Hari
Liturgi Minggu Palma juga spesial: diawali dengan suka cita, diakhiri dengan kisah sengsara. Misa dibuka dengan warna merah meriah, nyanyian semangat, dan daun palma yang dilambaikan penuh antusias. Tapi begitu bacaan Injil dimulai… umat jadi diam, suara koor mendayu-dayu, dan kita mulai masuk ke suasana serius: kisah sengsara Yesus.
Bacaan Injilnya panjang, sangat panjang—mungkin lebih panjang dari antrean pengakuan dosa minggu lalu. Tapi begitulah, karena kita diajak masuk dalam kisah cinta terbesar sepanjang sejarah: cinta yang rela menderita demi keselamatan.
Dari Daun ke Dalam
Minggu Palma mengingatkan kita: iman itu bukan soal momen manis saja, tapi soal kesetiaan dalam perjalanan panjang. Kadang kita mudah memuji Tuhan saat semuanya lancar: kerjaan oke, tagihan lunas, dan kopi nggak kepahitan. Tapi, bagaimana saat hidup terasa berat, saat kita harus ikut “memikul salib” kita masing-masing?
Nah, itulah ajakan sejati Minggu Palma:
“Berani ikut Yesus bukan hanya saat ramai dan penuh pujian, tapi juga saat jalan sepi dan penuh tantangan.”
Karena itulah, daun palma yang kita bawa bukan sekadar “souvenir misa.” Ia adalah simbol dari pilihan:
Apakah kita hanya jadi penonton dalam prosesi hidup Yesus, atau kita mau benar-benar ikut jalan bersama-Nya sampai Golgota?
Dan Akhirnya… Ada Harapan
Jangan lupa, Minggu Palma memang awal dari Pekan Suci yang penuh penderitaan, tapi ujungnya adalah Paskah! Kebangkitan! Kemenangan cinta!
Jadi kalau minggu ini kita merasa hidup kita penuh salib—entah salib kerjaan, salib rumah tangga, salib sinyal WiFi, atau salib “kenapa aku ditugaskan terus?”—ingatlah: setiap salib yang dipikul bersama Tuhan akan membawa kita pada kebangkitan.
